Gabungan Aktivis KAKS Bekerjasama Dengan Kepolisian Gelar Diskusi “Moderasi Politisi Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren”

Surabaya, Rodainformasi.com,  – Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Anti Kekerasan Seksual (KAKS) yakni Asa Puan, Aliansi Mahasiswa Perempuan Indononesia (Amanda), Catalyst Institute dan Sapta Cipta bekerjasama dengan Polda Jawa Timur menggelar diskusi dengan tema “Moderasi Politisi Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren”, selasa (2/08/2022) di Pasadena Coffee Dau Malang.

Kegiatan tersebut merespon beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi belakangan mencuat di wilayah Jatim baik di lingkungan sekolah maupun pondok pesantren. Koalisi Anti Kekerasan Seksual (KAKS) juga malakukan deklarasi pembentukan badan pengaduan kekerasan seksual.

Isi deklarasi yang dibacakan Anti Kekerasan Seksual (KAKS) yaitu :

1. Melawan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan terutama pondok pesantren.
2. Melakukan sosialisasi, edukasi dan monitoring tentang kekerasan seksual di sekolah dan pondok pesantren.
3. Mengkampanyekan slogan “santri support santri” sebagai bentuk pengawasan moderatif di lingkup pondok pesantren.
4. Mengajak masyarakat Jawa Timur untuk mendukung tindak pencegahan kekerasan seksual sebagai urgensi kemanusiaan Jawa Timur.

Diskusi tersebut menghadirkan tiga pemateri yakni Titin founder Asa Puan, Zumrotin Nazia Founder Sapta Cipta dan Ustad Fattah Azzahri Pengurus Pengurus Ponpes Tahfidz Bani Yusuf Merjosari Malang juga pernah pengalaman di Ponpes Griya Tilawah Malang.

Zumrotin Nazia dalam penyampaian materi nya mengutip data kasus seksual yang terjadi di Indonesia. Bahwa permasalahan kasus seksual ini sudah dianggap menjadi pandemi, mulai tahun 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan ada 10.600 kasus.

Baca Juga  'Ho Ho Hi He' Bersama Pacar Lima Kali Berahkir Di Bui

Sedangkan laki laki ada 1.600 kasus korban terbanyak adalah perempuan. Ia juga menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di perguruan tinggi juga di Ponpes .

“Oleh karena itu perguruan tinggi dan ponpes harusnya memberi pengetahuan terhadap mahasiswanya bukannya malah melakukan tindak kekerasan seksual terhadap mahasiswanya” kata Nazia.

Nazia juga menyampaikan berdasarkan pengamatannya selama ini pihak kampus umumnya akan menutupi kasus kekerasan seksual yang terjadi. Karena kampus pasti akan menjaga kredibilitas kampus tersebut.

Selain itu problem lain dimana perguruan tinggi sudah mempunyai lembaga atau badan yg menjadi lembaga pelindung atau pengaduan. Tapi Pada realisasinya mereka belum memaksimalkan badan pengaduan tersebut untuk menyelesaikan masalah.

“Kampus harusnya berpedoman pada Permendikbud Ristekdikti th 2021 agar kampus mempunyai kemampuan untuk melindungi mahasiswa yg menjadi korban kekerasan seksual” tambah Nazia

Sementara itu Ustad Fattah berbagi Pengalaman selama ia belajar dan menjadi pengurus pesantren selama kurang lebih 7 tahun.

“Bahwa santri itu adalah pelajar yg polos yang sangat penurut terhadap ustad atau kiyainya. Karena konsep dalam ponpes adalah ketaatan terhadap gurunya atau kiyainya didalam ponpes. Hal itu kadang yg disalah gunakan oleh pengasuh didalam ponpes untuk melakukan kekerasan seksual dalam ponpes” kata Fattah.

Baca Juga  Koramil Temayang Gotong-Royong Bangun Mushola

Dan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di lingkup Ponpes ada beberapa saran yang diberikan Fattah yakni yang pertama agar ponpes laki laki yang menjadi pengurus sebaiknya juga ustad (laki – laki) begitupun sebaliknya, ponpes perempuan yang jadi pengurus juga harus perempuan.

Kedua, persoalan SDM yg memimpin ponpes harus mempunyai ilmu yg benar dalam penerapan keilmuan didalam agama Islam dan pada proses penerimaan pengajar diseleksi betul betul termasuk seleksi psikologi dan kepribadiannya.

Ketiga Dipesantren harusnya ada program tambahan yg membuat santri supaya berkegiatan maksimal, dan yang ke empat perlunya pendidikan seksual dilingkup ponpes.

“Seperti diskusi pada hari ini sangat penting agar santri tahu apa yang mesti dilakukan ketika terjadi pelecehan seksual di lingkup ponpes” jelas Fattah.

Dan di materi terakhir Titin memberikan penjelasan bahwa Koalisi anti kekerasan seksual (KAKS) ini dibentuk untuk membantu para santri dan santriwati di pondok pesantren agar bisa memiliki keberanian untuk melakukan laporan atau pengaduan apabila mengalami kekerasan secara seksual.

“Bahwasanya kita ketahui di pondok pesantren masih belum ada badan atau bagian yang dapat menerima segala bentuk pengaduan, sehingga para santri dan santriwati cenderung bingung untuk melaporkannya bagaiaman dan seperti apa” jelas Titin yang juga ketua panitia. (Red)

Komentar